Jumat, 14 Januari 2011

Mendidik anak bersikap kritis

       Allah telah mengaruniakan kepada setiap manusia mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan akal untuk berfikir. Ketiga indra tersebut harus kita pergunakan untuk menguji benar atau salahnya suatu hal yang hendak kita lakukan. Apapun yang kita lakukan haruslah benar-benar didasarkan ilmu. Segala tindakan atau perkataan yang semata-mata ikut-ikutan orang lain alias membeo, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Seorang remaja putri tiba-tiba merubah penampilannya secara drastis, dari yang biasanya hobby bertanktop ria dengan celana jeans yang ketat, tiba-tiba membalut kepalanya dengan kerudung. Ketika ditanya kenapa dia merubah penampilannya, jawabnya "kan lagi ngetrend..". Bolehlah gadis itu dengan sikapnya, tapi kita semua akan tahu secerdas apa dia berfikir. Berfikir dan bersikap cerdas menurut Islam adalah apa-apa yang sesuai dengan dasar hukumnya, yaitu Al-Qur'an dan Al-hadist. Sayang sekali jika gadis itu menutup auratnya hanya karena alasan ikut trend, biar terlihat lebih cantik, atau apalah... Andaikata niatnya diluruskan, mungkin tak kan ada yang sia-sia dari maksud baiknya menutup aurat.
       Siapapun orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang shalih. Hendaknya orang tua menanamkan sikap kritis pada diri putra-putrinya. Biasakan mereka untuk mengetahui dasar dan argumentasi dari tindakan yang hendak dilakukannya atau perkataan yang hendak diucapkannya. Membiasakan anak berfikir kristis berarti membiasakan anak berfikir dengan menggunakan argumentasi. Dalam al-Islam kita sudah punya landasan yang kuat berupa ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih. Kembali kepada anak gadis tadi, jika dia faham tentang agamanya, ketika ditanya, kenapa nak kamu berjilbab?" Jawaban yang penuh keshalihan pastilah seperti ini, " karena aku ingin mentaati aturan Allah, karena setiap muslimah yang sudah baligh wajib menutup auratnya, sehingga jika aku enggan, maka Allah akan murka." Dan masih banyak alasan-alasan lainnya yang senada, yamg semuanya bersumber pada sebuah hukum, hukum Allah.
       Alangkah berbahagianya andai putra-putri kita sudah terbiasa bersikap kritis dari sejak kecil. Mereka akan dapat membedakan hal yang benar dan hal yang salah, jika kita arahkan mereka pada landasan Al-Islam. Kelak jika mereka dewasa, akan memiliki sikap istiqomah dan teguh pada pendirian dalam menghadapi gelombang kehidupan yang seringkali menyeret kita pada sesuatu yang keliru. Berfikir kritis juga akan menjadikan anak lebih kreatif, sehingga ketika ada masalah menerpa dia akan mencoba mencari cara untuk memecahkan masalahnya.
       Sudahkah kita mempersiapkan putra-putri kita, anak-anak didik kita untuk bersikap kritis. Marilah kita bangun diri ini menjadi pribadi yang lebih shalih yang akan menularkan keshalihan juga kepada generasi-generasi penerus kita di masa yang akan datang. Sehingga barisan kita akan semakin rapat dan kokoh.



 sumber:  Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih (Drs. M. Thalib)

Kamis, 13 Januari 2011

Nafas Bandungku

       Menapaki jalanan kota Bandung kini, terasa banyak yang berubah. Padahal serasa baru kemarin aku diajak  ibu dan nenek mengunjungi Mesjid Agung Bandung (sekarang Masjid Raya)di sekitar alun-alun. Menaiki bis kota, kami turun di pelataran mesjid melalui pintu manapun yang kami suka. Di saat mereka mengikuti acara di dalam masjid, aku bermain di halaman dengan asyiknya sambil di tanganku menggenggam kue bandros yang dibeli tidak jauh dari pagar masjid. Suasana yang lengang di hari Minggu itu membuatku merasa nyaman dan asyik dengan duniaku sendiri. Dua puluh lima tahun dari kenanganku itu, apa yang pernah berkesan indah, kurasa pudar keindahannya. Memang, bangunan masjid dan bangunan-bangunan di sekitarnya jauh semakin menawan. Renovasi-renovasi pada setiap sudut memberi kesan lebih modern. Tapi, kulihat semakin banyak orang hiruk pikuk, bukan untuk mengikuti acara-acara di masjid, melainkan beragam  motif. Pedagang maupun orang-orang yang sekedar mejeng, yang memenuhi pelataran masjid kurasa membuatku pusing tujuh keliling. Aku tak berani membiarkan anak-anakku berkeliaran sendiri di luar masjid. Kecemasan yang semestinya ada, karena begitu banyak dan beragamnya orang-orang di sekitar, membuat kita tak mampu membedakan mana orang baik mana yang tidak.
       Demikian pula yang kualami di setiap tempat yang kulewati. Saat kecil dulu, jalanan Riau, Dago, Pahlawan, Malabar Kosambi merupakan jalanan-jalanan favoritku. Bersama orang tua, kakak-kakakku ataupun teman-teman seringkali aku melintasi jalanan tersebut. Suasana yang teduh, pohon-pohon yang rindang, jalanan yang tenang, membuatku teramat menikmati, dan orang tua pun tak terlalu khawatir. Yang terbaru yang paling kuingat saat setiap hari harus melewati jalur Cicaheum-Ledeng. Ada Dipenogoro, Sulanjana, Tamansari, Siliwangi, Setiabudi... Meski harus berangkat pagi-pagi sekali dari rumah karena ada jadwal kuliah jam tujuh pagi, atau pulang menjelang maghrib karena kuliah berakhir jam setengah enam sore, tapi semua itu membuatku merasa asyik. Kunikmati saat para pengemudi angkot demo kenaikan BBM, itu artinya tak ada angkutan yang mengantarkan kami pulang, dan itu artinya juga..bahwa kami harus berjalan kaki sejauh jalur yang biasa kami lewati. Wah, beratnya....tapi semua itu kami lakukan dengan senang hati. Karena di setiap persimpangan jalan selalu kami temukan tempat untuk berteduh, di bawah pohon-pohon rindang. Dan baru saja sepuluh tahun berlalu, kudapati titik demi titik kenikmatan itu tak seindah dulu. Entah karena aku yang kurang peka terhadap setiap perubahan, atau memang suasana sudah tak seasyik dulu... entahlah.
       Jembatan layang Pasupati melintas dengan gagahnya di jalan-jalan kenanganku. Kini aku bisa menghemat waktu jika ingin menuju Cimahi dan Gunung Batu. Tapi perjalananku menuju masjid Salman ITB kurasakan semakin lama. Bisa jadi waktunya tak ada yang berubah, tapi suasananya itu yang memungkinkan waktu terasa panjang. Di setiap lampu stopan, kurasa waktu nangkring lebih lama, belum yang ngamen datang silih berganti dari yang anak balita, remaja sampai orang-orang tua renta pun nampak. Duh, semilir angin kota Bandungku semakin terganti oleh deru kendaraan roda dua, roda empat bahkan roda gila..
       Bagaimanapun, perubahan itu harus terjadi. Seiring waktu dan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan laju kreativitas manusia, perubahan itu mau tidak mau pasti ada. Tak terkecuali pada kota Bandungku tercinta. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di sini, ibunda tercinta pun lahir disini, kakekku pun tinggal dan beraktivitas disini (meski belum sempat aku melihat wajahnya), perubahan demi perubahan yang terjadi di kotaku sedikit banyak menjadi catatan tersendiri bagi kehidupanku. Semua itu selalu tertulis rapi dalam lembar demi lembar kenangan manis.
      

Selasa, 11 Januari 2011

keep smile...

      Alhamdulillah...akhirnya kesampaian juga punya blog sendiri. Hehe..ketinggalan ya..orang lain sudah pada kemana...Tapi engga apa-apa dong yang penting sekarang aku sudah punya teman baru untuk menumpahkan segala yang ingin kutumpahkan, ember kali...
      Sebenarnya dari sejak lama aku memendam hasrat untuk berblog-blog ria. Awalnya aku menghadiri acara bedah buku "e-Narsisme" karya siapa ya..aduh lupa..pokoknya inisialnya P (maaf ya mas aku betul2 hilaf..). Isinya tuh ngebahas abis soal blog dan seputar dunia maya (inget bkn mayat ya...). Di acara launching Speedy telkom itu, bukan cuma bedah buku yang aku dapat, tapi banyak hal.. Pulang dari sana kepikiran terus, kapan dan gimana aku bisa bergandengan dengan blogger. Masalahnya saat itu pc-ku lg rusak berat, mungkin tipis harapan untuk fresh kembali. Mau beli laptop atau notebook, budgetnya jauh dari mencukupi. Ya sudah kupendam saja dulu keinginan itu.
     Dan sekarang di awal tahun ini, saatnya kumengawali semua. Semua impian-impianku, semua yang ingin kucurahkan, kutulis, kuolah, kubuat, kutata, kupelajari, kuamalkan dan segudang impian lainnya.... Enggak ada maksud lain selain ingin 'bangun' dari tidur panjangku yang melenakan, yang membuatku lupa akan eksistensiku sebagai makhluk sosial. Ya, memang kemarin tidurku lelap sekali, sehingga aku lupa dimana sekarang aku berada.. kemana sebenarnya aku hendak pergi.. Dengan memohon ampunan Allah, semoga segala sikap ucap dan lampahku selalu tetap berada dalam peta cintaNya yang terarah.. Dan dengan menyebut nama Allah yang begitu sempurna keindahanNya, kumulai langkahku kembali...
     Teruntuk suamiku tercinta(semoga selalu dalam lindunganNya), thanks atas spirit yang selalu kau beri, atas pelajaran2 berharga yang mengiringi perjalanan kita menapaki satu dasawarsa. Untuk buah hatiku, Aqila dan Zidan(semoga Allah selalu menjagamu, nak...)yang selalu memberi inspirasi dan menjadi alasan bagiku untuk tetap tersenyum....







Tak seindah angan

          Perjumpaanku kembali dengan sahabat lama sungguh memberiku banyak hikmah. Lima belas tahun sudah tak kudengar lagi kabar beritanya. Terakhir aku bertemu dengannya saat kita menamatkan sekolah menengah atas, itupun dalam suasana yang tak seakrab saat kita masih bersama mengenakan baju putih biru tua. Namun saat itu kita sudah sama-sama memperoleh hidayah untuk mengenakan jilbab. Ya, meski tak sempat bersama-sama saat itu..tapi minat dan aktifitas kita tak jauh berbeda. Kami habiskan masa remaja dengan mengikuti banyak kegiatan organisasi di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Seperti layaknya remaja kebanyakan, kami pun menemukan banyak komunitas.
          Dengan bekal khdpn yang hampir senada, kami merasa 'ngeklik' dalam komunikasi. Dalam sebuah kesempatan kita dipertemukan kembali. Di mataku dia tetap semanis yang dulu. Tak ada yang berubah, tetap energik dengan gayanya yang agak macho meski terbungkus jilbab yang rapi. Yang beda, ada seorang gadis mengikutinya, lho...siapa dia? "Dia anak bungsuku..!"jawabnya ketika kutanya. Weleh weleh...anak bungsu..? Putri pertamaku saja masih mungil dan imut..."Ya, aku menikah lebih cepat!"katanya saat aku terbengong-bengong dengan penuh tanya.
           Dari ajang melepas kangen itu, akhirnya aku tahu cerita kehidupannya. Saat aku dan teman-teman lain masih berasyik ria dengan kehidupan remaja kami, dia sudah harus membuat suatu pilihan hidup, menikah. Awalnya dia enggan, tapi desakan ibunya yang memaksa dia untuk menurut. Tak satupun catatan tentang seorang lelaki mampir di kehidupannya sebelum dia memutuskan menerima pilihan ibunya itu. Dia sangat faham bagaimana adab bergaul dengan lelaki yang bukan muhrim menurut Islam. Dia sangat menjaga itu. Maka..kepada lelaki yang menjadi suaminya lah pertama kali dia melabuhkan hatinya, mempersembahkan lahir dan batinnya dalam kepemimpinan sang suami. Dari segi usia, lelaki itu jauh lebih dewasa, hampir sebaya ibunya karena dia memang karib ibunya. Dari segi dunia, finansialnya cukup menjanjikan yang menjadi alasan utama sang ibu memilihkannya. Berharap agar ekonomi keluarga mereka terangkat. Dengan penuh kepasrahan dia menerima sebagai bakti pada orang tua meski dalam hatinya ada sedikit pergulatan. Ya itu mungkin taqdir.
            Dari awal dia mengenal lelaki itu dengan pencitraan yang negatif, suka alkohol, narkoba, dunia malam, atau bahkan wanita jalang...wallohu 'alam. Dia hanya pasrahkan pada Allah, dengan harapan semoga dalam mengayuh biduk rumah tangga nanti dia melihat lelaki itu berubah, seperti janjinya. Tapi ternyata itu hanya harapan, hanya impian, hanya ada dalam angan. Setelh sekian lama berlalu, sang suami tetap dengan pribadi rapuhnya, malam tak di rumah, keluyuran pulang pagi dalam keadaan sempoyongan, temperament, jauh... untuk sekedar mendirikan sholat. Dengan beban batin yang menghimpit, dia berusaha tetap bertahan, demi sebuah keinginan merubah suaminya menjadi lebih baik. Anak-anak yang lahir dari pernikahannya juga menjadi alasannya untuk bertahan. Tak jarang anak-anak buah cintanya menyaksikan dirinya diperlakukan kasar oleh ayah mereka. Duhai..inikah cinta..mengapa tak seindah angan...
            Tak sedikit kaum wanita yang mengalami nasib seperti sahabatku itu. Tak sedikit pula dari mereka yang lari meninggalkan masalah dengan mendobrak tatanan yang ada ada. Namun tak sedikit pula yang tetap bertahan menghadapi segala kemelut dengan motifasi yang berbeda. Jika kita teringat Ibunda kita, Asyiah  yang bersuamikan Fir'aun durjana, beliau dengan kesholihannya tetap bertahan dalam kekuasaan suaminya.Di tengah segala kepedihannya bersuamikan Fir'aun yang kejam, dengan bekal Islam dan taqarrubilallah menjadikannya pribadi yang tegar, wanita yang sangat beriman. Sehingga tak ada lagi yang dimintanya kecuali satu "Ya Allah bangunkan hamba sebuah rumah di syurga.." Subhanallah..
            Sanggupkah kita menjadi Asyiah di era ini? Dengan aneka kemelut yang menerpa rumah tangga kita, mampukah kita setegar Asyiah? Dia memilih untuk tetap bertahan di rumah Fir'aun dan tak meninggalkannya. Dia semakin mendekatkan diri pada Sang Pemilik Hati, meski hatinya terluka.
Aku berdo'a untuk sahabatku, semoga dia bisa setangguh Asyiah, bisa melewati semuanya dengan mudah, semakin pandai menata hati, semakin bertambah keimanan.. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia teramat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak..."(QS.Al-Baqarah 216)
Allah Maha Mengetahui keinginan hambaNya namun Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaNya. Semoga hidayah akan tetap mengalir untuk mereka dan untuk kita.. Sehingga senyuman akan tetap merekah menjemput hari depan yang lebih baik.