Kamis, 13 Januari 2011

Nafas Bandungku

       Menapaki jalanan kota Bandung kini, terasa banyak yang berubah. Padahal serasa baru kemarin aku diajak  ibu dan nenek mengunjungi Mesjid Agung Bandung (sekarang Masjid Raya)di sekitar alun-alun. Menaiki bis kota, kami turun di pelataran mesjid melalui pintu manapun yang kami suka. Di saat mereka mengikuti acara di dalam masjid, aku bermain di halaman dengan asyiknya sambil di tanganku menggenggam kue bandros yang dibeli tidak jauh dari pagar masjid. Suasana yang lengang di hari Minggu itu membuatku merasa nyaman dan asyik dengan duniaku sendiri. Dua puluh lima tahun dari kenanganku itu, apa yang pernah berkesan indah, kurasa pudar keindahannya. Memang, bangunan masjid dan bangunan-bangunan di sekitarnya jauh semakin menawan. Renovasi-renovasi pada setiap sudut memberi kesan lebih modern. Tapi, kulihat semakin banyak orang hiruk pikuk, bukan untuk mengikuti acara-acara di masjid, melainkan beragam  motif. Pedagang maupun orang-orang yang sekedar mejeng, yang memenuhi pelataran masjid kurasa membuatku pusing tujuh keliling. Aku tak berani membiarkan anak-anakku berkeliaran sendiri di luar masjid. Kecemasan yang semestinya ada, karena begitu banyak dan beragamnya orang-orang di sekitar, membuat kita tak mampu membedakan mana orang baik mana yang tidak.
       Demikian pula yang kualami di setiap tempat yang kulewati. Saat kecil dulu, jalanan Riau, Dago, Pahlawan, Malabar Kosambi merupakan jalanan-jalanan favoritku. Bersama orang tua, kakak-kakakku ataupun teman-teman seringkali aku melintasi jalanan tersebut. Suasana yang teduh, pohon-pohon yang rindang, jalanan yang tenang, membuatku teramat menikmati, dan orang tua pun tak terlalu khawatir. Yang terbaru yang paling kuingat saat setiap hari harus melewati jalur Cicaheum-Ledeng. Ada Dipenogoro, Sulanjana, Tamansari, Siliwangi, Setiabudi... Meski harus berangkat pagi-pagi sekali dari rumah karena ada jadwal kuliah jam tujuh pagi, atau pulang menjelang maghrib karena kuliah berakhir jam setengah enam sore, tapi semua itu membuatku merasa asyik. Kunikmati saat para pengemudi angkot demo kenaikan BBM, itu artinya tak ada angkutan yang mengantarkan kami pulang, dan itu artinya juga..bahwa kami harus berjalan kaki sejauh jalur yang biasa kami lewati. Wah, beratnya....tapi semua itu kami lakukan dengan senang hati. Karena di setiap persimpangan jalan selalu kami temukan tempat untuk berteduh, di bawah pohon-pohon rindang. Dan baru saja sepuluh tahun berlalu, kudapati titik demi titik kenikmatan itu tak seindah dulu. Entah karena aku yang kurang peka terhadap setiap perubahan, atau memang suasana sudah tak seasyik dulu... entahlah.
       Jembatan layang Pasupati melintas dengan gagahnya di jalan-jalan kenanganku. Kini aku bisa menghemat waktu jika ingin menuju Cimahi dan Gunung Batu. Tapi perjalananku menuju masjid Salman ITB kurasakan semakin lama. Bisa jadi waktunya tak ada yang berubah, tapi suasananya itu yang memungkinkan waktu terasa panjang. Di setiap lampu stopan, kurasa waktu nangkring lebih lama, belum yang ngamen datang silih berganti dari yang anak balita, remaja sampai orang-orang tua renta pun nampak. Duh, semilir angin kota Bandungku semakin terganti oleh deru kendaraan roda dua, roda empat bahkan roda gila..
       Bagaimanapun, perubahan itu harus terjadi. Seiring waktu dan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan laju kreativitas manusia, perubahan itu mau tidak mau pasti ada. Tak terkecuali pada kota Bandungku tercinta. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di sini, ibunda tercinta pun lahir disini, kakekku pun tinggal dan beraktivitas disini (meski belum sempat aku melihat wajahnya), perubahan demi perubahan yang terjadi di kotaku sedikit banyak menjadi catatan tersendiri bagi kehidupanku. Semua itu selalu tertulis rapi dalam lembar demi lembar kenangan manis.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar