Perjumpaanku kembali dengan sahabat lama sungguh memberiku banyak hikmah. Lima belas tahun sudah tak kudengar lagi kabar beritanya. Terakhir aku bertemu dengannya saat kita menamatkan sekolah menengah atas, itupun dalam suasana yang tak seakrab saat kita masih bersama mengenakan baju putih biru tua. Namun saat itu kita sudah sama-sama memperoleh hidayah untuk mengenakan jilbab. Ya, meski tak sempat bersama-sama saat itu..tapi minat dan aktifitas kita tak jauh berbeda. Kami habiskan masa remaja dengan mengikuti banyak kegiatan organisasi di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Seperti layaknya remaja kebanyakan, kami pun menemukan banyak komunitas.
Dengan bekal khdpn yang hampir senada, kami merasa 'ngeklik' dalam komunikasi. Dalam sebuah kesempatan kita dipertemukan kembali. Di mataku dia tetap semanis yang dulu. Tak ada yang berubah, tetap energik dengan gayanya yang agak macho meski terbungkus jilbab yang rapi. Yang beda, ada seorang gadis mengikutinya, lho...siapa dia? "Dia anak bungsuku..!"jawabnya ketika kutanya. Weleh weleh...anak bungsu..? Putri pertamaku saja masih mungil dan imut..."Ya, aku menikah lebih cepat!"katanya saat aku terbengong-bengong dengan penuh tanya.
Dari ajang melepas kangen itu, akhirnya aku tahu cerita kehidupannya. Saat aku dan teman-teman lain masih berasyik ria dengan kehidupan remaja kami, dia sudah harus membuat suatu pilihan hidup, menikah. Awalnya dia enggan, tapi desakan ibunya yang memaksa dia untuk menurut. Tak satupun catatan tentang seorang lelaki mampir di kehidupannya sebelum dia memutuskan menerima pilihan ibunya itu. Dia sangat faham bagaimana adab bergaul dengan lelaki yang bukan muhrim menurut Islam. Dia sangat menjaga itu. Maka..kepada lelaki yang menjadi suaminya lah pertama kali dia melabuhkan hatinya, mempersembahkan lahir dan batinnya dalam kepemimpinan sang suami. Dari segi usia, lelaki itu jauh lebih dewasa, hampir sebaya ibunya karena dia memang karib ibunya. Dari segi dunia, finansialnya cukup menjanjikan yang menjadi alasan utama sang ibu memilihkannya. Berharap agar ekonomi keluarga mereka terangkat. Dengan penuh kepasrahan dia menerima sebagai bakti pada orang tua meski dalam hatinya ada sedikit pergulatan. Ya itu mungkin taqdir.
Dari awal dia mengenal lelaki itu dengan pencitraan yang negatif, suka alkohol, narkoba, dunia malam, atau bahkan wanita jalang...wallohu 'alam. Dia hanya pasrahkan pada Allah, dengan harapan semoga dalam mengayuh biduk rumah tangga nanti dia melihat lelaki itu berubah, seperti janjinya. Tapi ternyata itu hanya harapan, hanya impian, hanya ada dalam angan. Setelh sekian lama berlalu, sang suami tetap dengan pribadi rapuhnya, malam tak di rumah, keluyuran pulang pagi dalam keadaan sempoyongan, temperament, jauh... untuk sekedar mendirikan sholat. Dengan beban batin yang menghimpit, dia berusaha tetap bertahan, demi sebuah keinginan merubah suaminya menjadi lebih baik. Anak-anak yang lahir dari pernikahannya juga menjadi alasannya untuk bertahan. Tak jarang anak-anak buah cintanya menyaksikan dirinya diperlakukan kasar oleh ayah mereka. Duhai..inikah cinta..mengapa tak seindah angan...
Tak sedikit kaum wanita yang mengalami nasib seperti sahabatku itu. Tak sedikit pula dari mereka yang lari meninggalkan masalah dengan mendobrak tatanan yang ada ada. Namun tak sedikit pula yang tetap bertahan menghadapi segala kemelut dengan motifasi yang berbeda. Jika kita teringat Ibunda kita, Asyiah yang bersuamikan Fir'aun durjana, beliau dengan kesholihannya tetap bertahan dalam kekuasaan suaminya.Di tengah segala kepedihannya bersuamikan Fir'aun yang kejam, dengan bekal Islam dan taqarrubilallah menjadikannya pribadi yang tegar, wanita yang sangat beriman. Sehingga tak ada lagi yang dimintanya kecuali satu "Ya Allah bangunkan hamba sebuah rumah di syurga.." Subhanallah..
Sanggupkah kita menjadi Asyiah di era ini? Dengan aneka kemelut yang menerpa rumah tangga kita, mampukah kita setegar Asyiah? Dia memilih untuk tetap bertahan di rumah Fir'aun dan tak meninggalkannya. Dia semakin mendekatkan diri pada Sang Pemilik Hati, meski hatinya terluka.
Aku berdo'a untuk sahabatku, semoga dia bisa setangguh Asyiah, bisa melewati semuanya dengan mudah, semakin pandai menata hati, semakin bertambah keimanan.. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia teramat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak..."(QS.Al-Baqarah 216)
Allah Maha Mengetahui keinginan hambaNya namun Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaNya. Semoga hidayah akan tetap mengalir untuk mereka dan untuk kita.. Sehingga senyuman akan tetap merekah menjemput hari depan yang lebih baik.
Dengan bekal khdpn yang hampir senada, kami merasa 'ngeklik' dalam komunikasi. Dalam sebuah kesempatan kita dipertemukan kembali. Di mataku dia tetap semanis yang dulu. Tak ada yang berubah, tetap energik dengan gayanya yang agak macho meski terbungkus jilbab yang rapi. Yang beda, ada seorang gadis mengikutinya, lho...siapa dia? "Dia anak bungsuku..!"jawabnya ketika kutanya. Weleh weleh...anak bungsu..? Putri pertamaku saja masih mungil dan imut..."Ya, aku menikah lebih cepat!"katanya saat aku terbengong-bengong dengan penuh tanya.
Dari ajang melepas kangen itu, akhirnya aku tahu cerita kehidupannya. Saat aku dan teman-teman lain masih berasyik ria dengan kehidupan remaja kami, dia sudah harus membuat suatu pilihan hidup, menikah. Awalnya dia enggan, tapi desakan ibunya yang memaksa dia untuk menurut. Tak satupun catatan tentang seorang lelaki mampir di kehidupannya sebelum dia memutuskan menerima pilihan ibunya itu. Dia sangat faham bagaimana adab bergaul dengan lelaki yang bukan muhrim menurut Islam. Dia sangat menjaga itu. Maka..kepada lelaki yang menjadi suaminya lah pertama kali dia melabuhkan hatinya, mempersembahkan lahir dan batinnya dalam kepemimpinan sang suami. Dari segi usia, lelaki itu jauh lebih dewasa, hampir sebaya ibunya karena dia memang karib ibunya. Dari segi dunia, finansialnya cukup menjanjikan yang menjadi alasan utama sang ibu memilihkannya. Berharap agar ekonomi keluarga mereka terangkat. Dengan penuh kepasrahan dia menerima sebagai bakti pada orang tua meski dalam hatinya ada sedikit pergulatan. Ya itu mungkin taqdir.
Dari awal dia mengenal lelaki itu dengan pencitraan yang negatif, suka alkohol, narkoba, dunia malam, atau bahkan wanita jalang...wallohu 'alam. Dia hanya pasrahkan pada Allah, dengan harapan semoga dalam mengayuh biduk rumah tangga nanti dia melihat lelaki itu berubah, seperti janjinya. Tapi ternyata itu hanya harapan, hanya impian, hanya ada dalam angan. Setelh sekian lama berlalu, sang suami tetap dengan pribadi rapuhnya, malam tak di rumah, keluyuran pulang pagi dalam keadaan sempoyongan, temperament, jauh... untuk sekedar mendirikan sholat. Dengan beban batin yang menghimpit, dia berusaha tetap bertahan, demi sebuah keinginan merubah suaminya menjadi lebih baik. Anak-anak yang lahir dari pernikahannya juga menjadi alasannya untuk bertahan. Tak jarang anak-anak buah cintanya menyaksikan dirinya diperlakukan kasar oleh ayah mereka. Duhai..inikah cinta..mengapa tak seindah angan...
Tak sedikit kaum wanita yang mengalami nasib seperti sahabatku itu. Tak sedikit pula dari mereka yang lari meninggalkan masalah dengan mendobrak tatanan yang ada ada. Namun tak sedikit pula yang tetap bertahan menghadapi segala kemelut dengan motifasi yang berbeda. Jika kita teringat Ibunda kita, Asyiah yang bersuamikan Fir'aun durjana, beliau dengan kesholihannya tetap bertahan dalam kekuasaan suaminya.Di tengah segala kepedihannya bersuamikan Fir'aun yang kejam, dengan bekal Islam dan taqarrubilallah menjadikannya pribadi yang tegar, wanita yang sangat beriman. Sehingga tak ada lagi yang dimintanya kecuali satu "Ya Allah bangunkan hamba sebuah rumah di syurga.." Subhanallah..
Sanggupkah kita menjadi Asyiah di era ini? Dengan aneka kemelut yang menerpa rumah tangga kita, mampukah kita setegar Asyiah? Dia memilih untuk tetap bertahan di rumah Fir'aun dan tak meninggalkannya. Dia semakin mendekatkan diri pada Sang Pemilik Hati, meski hatinya terluka.
Aku berdo'a untuk sahabatku, semoga dia bisa setangguh Asyiah, bisa melewati semuanya dengan mudah, semakin pandai menata hati, semakin bertambah keimanan.. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia teramat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak..."(QS.Al-Baqarah 216)
Allah Maha Mengetahui keinginan hambaNya namun Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaNya. Semoga hidayah akan tetap mengalir untuk mereka dan untuk kita.. Sehingga senyuman akan tetap merekah menjemput hari depan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar