Kamis, 10 Mei 2012

GORESAN HATI

     Tak sengaja kumelihat rekaman video di Youtube yang memperlihatkan penyiksaan seorang ibu kepada anaknya yang aku yakin itu anak usianya belum genap 2 tahun. Dengan pukulan yang bertubi-tubi di kepala, badan, kaki, cubitan di setiap bagian tubuh yang kecil tak berdaya. Tidak puas dengan dua tangan dan dua kakinya, sang ibu pun menggunakan media lain untuk meluapkan emosinya. Sementara anak yang tak berdaya itu...hanya bisa menangis, menyayat hati, tak mampu berontak dari terjangan nafsu durjana yang bertubi-tubi. Astaghfirullah...hatiku tak menentu. Aku mengutuk sikap kesyetanan ibu itu dan aku yakin siapapun yang menonton video itu pasti bersikap sama sepertiku.
     Teringat penggalan demi penggalan hidupku yang lalu, aku tak ubahnya seperti ibu itu. Tapi itu mimpi buruk untukku.Aku ingin membuka file hidupku yang lama untuk sekedar bercermin, tapi aku tak sanggup menemukan diriku dalam kenistaan. Yang aku tahu, saat ini hidupku teramat tenang dan bahagia. Anak-anakku tumbuh besar, sehat dan cerdas. Anak-anakku tidak rewel seperti anak-anak yang lain. Anak-anakku tidak pernah memaksa aku dan ayahnya untuk memenuhi segala keinginan mereka. Cukup dengan mengatakan "tidak" atau "nanti ya..", mereka diam, mereka menurut. Prestasi akademik mereka di sekolah cukup bagus, hapalan Al-Qur'annya selalu bertambah, sosialisasi dengan teman-temannya tak ada kendala. Sebenarnya apa yang kurisaukan?
     Melihat tumbuh kembang anak-anakku yang wajar, pasti banyak yang tak mengira kalau mereka dulu pernah diperlakukan tidak layak. Terutama yang sulung....astaghfirullahal'adzhiim...maafkan mama Nak....Kuulangi, tak ubahnya seperti ibu di video tadi. Entah syetan apa yang berkecamuk di tubuhku, sehingga setiap mendengar tangisan sulungku, amarahku memuncak. Tatapan polos dan memelasnya, saat itu kuanggap 'menantang' dan 'melawan'. Mulut dan tanganku tak lelah menyakitinya. Itu memang dulu dan sudah terjadi, tapi itu pernah terjadi. Yang namanya 'pernah' pasti ada jejak dan bekasnya. Itulah yang membuatku tersentak.
     Itu dulu, saat cahaya-cahaya Islam masih temaram menghiasi kalbuku. Itu saat lalu, saat sholat masih kuanggap sebuah kewajiban, bukan kebutuhan. Saat jati diri ini belum kutemukan, saat risalah-risalah nabi belum mampu tercerna otakku. Tiba-tiba do'a almarhumah ibuku sampai kepada Allah, direspon oleh Allah dengan amat indah. Suatu kali saat beliau masih ada, kudengar sayup suaranya memohon kepada Allah agar hatiku dilembutkan dari sikap kasar kepada anakku alias cucunya. Dia memohon agar aku menjadi ibu yang soleh dan sabar. Dia berdo'a seperti itu kepada Sang Penguasa langit dan bumi, karena dia menyaksikan sendiri bagaimana aku memperlakukan anakku. Rupanya...hidayah itu turun saat ibuku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi aku sangat yakin, semua kebaikan demi kebaikan yang aku peroleh kini adalah buah dari do'anya yang berbalut cinta. Ya Allah, rahmatillah ibuku...
     Apa jadinya jika cahaya-cahaya itu tak segera datang padaku. Akan jadi seperti apa rumah tanggaku. Akan seperti apa anak-anakku... Sempat rasa khawatir itu menyeruak, membuatku tak percaya diri. Jika anak-anakku banyak diam, aku curiga mereka apatis. Jika anak-anakku teramat lincah dan jahil, aku khawatir over acting. Saat anak-anakku sering ribut, marah dan teriak-teriak, aku mengira mereka jadi pemberontak. Bagaimana aku tidak khawatir, aku yang telah meracuni mereka di saat usia keemasan mereka, di saat mereka butuh dimengerti dan diantarkan. Aku malah melukis hati-hati mereka dengan hinaan, cacian, cercaan, cemoohan. Mungkin, memar bekas cubitan di tubuh mereka bisa pudar dan hilang, tapi memar di hati-hati mereka dapatkah hilang?
     Aku tahu aku keliru. Aku tahu aku telah bertindak bodoh. Tapi aku memohon kepada Allah di setiap sujudku, agar aku diberi kesempatan untuk mencurahkan segenap kasih sayang kepada anak-anakku, merawat, mengasuh dan membimbing mereka. Mengantarkan mereka untuk mengenal Robbnya, meneladani nabinya, memahami ajaran agamanya. Aku akan berusaha semampuku menghapus memar-memar itu dengan  cinta. Cinta dan kelembutan yang akan selalu mengiringi setiap langkah mereka. Seperti kali ini, saat menjelang tidur, kutepuk-tepuk pantat mereka, kubelai-belai mereka, sambil kubisikkan kata maaf, sambil kubisikkan betapa aku sayang mereka semua, lalu aku berdo'a kepada Allah untuk kebaikan mereka dan membiarkan mereka mendengarnya, lalu ikut mengaminkannya. Semoga cahaya-cahaya Ilahi senantiasa menyinari hidup mereka, menghapus lukisan-lukisan buruk yang telah ditorehkan ibunya, menjadi  pelita bagi kegelapan zaman yang semakin tidak jelas. 
     Tak akan lelah aku memohon ampun kepada Allah atas masa-masa gelap yang telah kualami. Tak akan henti pula kubersyukur atas segenap limpahan energi positif yang datang. Puji dan syukur kupanjatkan hanya kepada Allah, Zat Yang Maha Sempurana , Yang telah memberiku bermiliar-miliar kebaikan. Akhir kata, dengan kecupan sayang untuk anak-anakku, kuberdo'a kepada Allah, "Astaudi'ukumullah..Alladzii laa tudhii'u wadaai'uHu" (Kutitipkan kalian kepada Allah yang tak akan tersia-siakan semua yang dititipkan kepada-Nya...).Wallohu 'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar